Rabu, 07 April 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, perawat merupakan segmen profesi terbesar dalam bidang kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa sekarang ada lebihdari 9 juta perawat dan bidan di 141 negara. The Atlantic Monthly menyatakan bahwa "keperawatan merupakan perpaduan dari perhatian, pengetahuan dan keterandalan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup pasien". (Sri Inawati, 2006)Perawat, sebagai kekuatan pembaruan, mempunyai kans besar untuk memastikan kesehatan masyarakat dapat tercapai. Mengenai ini, bahkan pernah ditegaskan oleh Hafdan Mahler, Direktur Jenderal WHO, tahun 1985. Proporsi tenaga keperawatan Indonesia sebesar 54 persen menggambarkan kekuatan yang mampu memberikan daya ungkit mengurangi angka kematian ibu dan anak, meretas masalah kurang gizi, mencegah penyebaran penyakit menular, meningkatkan kesehatan lingkungan, dan menjaga individu tetap hidup sehat secara optimal. (Bernadethe Marheni Luan, 2008)
Salah satu masalah kesehatan yang sering muncul di komunitas adalah gizi buruk pada anak. Data UNICEF tahun 2006 menunjukkan, penderita gizi buruk pada anak meningkat jumlahnya.Dari 1,8 juta jiwa pada tahun 2005 meningkat menjadi 2,3 juta jiwa pada tahun 2006. Ini menggambarkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat saat ini masih di bawah garis kemiskinan. (Nurhamidah, 2008)
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek. (Republika, 4 April 2007)Banyak sekali upaya yang berusaha dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah gizi buruk pada anak. Salah satunya adalah melalui program Desa Siaga yang ditetapkan di Puskesmas. Melalui program ini, diharapkan upaya yang dilakukan tidak hanya sebatas kuratif saja, tetapi juga upaya promotif dan preventif.
Upaya untuk mengatasi masalah gizi buruk ini juga telah menjadi pemikiran bersama tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia. Sebanyak 189 negara anggota PBB menandatangani Deklarasi Millenium (Millenium Development Goals) pada konferensi tingkat tinggi PBB bulan September 2000yang memiliki sasaran antara lain: 1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan, 2) mewujudkan pendidikan dasar bagi sesama, 3) mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, 4) Menurunkan angka kematian balita, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, 7) menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. (Anonim, 2007)
Pengurangan jumlah penderita malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah memasuki periode sepertiga terakhir.Program perbaikan gizi masyarakat dalam beberapa tahun ini sudah masuk dalam program tugas wajib Pemerintah Daerah. (Antonius Wiwan Koban, 2008)
Salah satu sasaran dari MDGs kaiatannya pada masalah gizi buruk nampak pada poin 4 yaitu upaya menurunkan angka kematian balita. Angka kematian balita memiliki hubunganyang erat dengan masalah gizi buruk pada anak.
Melihat fenomena di atas, perawat mempunyai begitu banyak peran yang dapat dilakukan di komunitas. Kaitannya dengan kejadian gizi buruk yang hingga kini masih menjadi masalah yang belum dapat terselesaikan, maka dianggap perlu adanya upaya konkrit perawat untuk menanggulangi masalah tersebut. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah upaya pendampingan keluarga atau keluarga binaan.
Pendekatan yang digunakan dalam asuhan keperawatan komunitas adalah pendekatan keluarga binaan dan kelompok kerja komunitas. Strategi yang digunakan untuk pemecahan masalah adalah melalui pendidikan kesehatan, teknologi tepat guna serta pemanfaatan kebijakan pemerintah. (Mia Fatma Ekasari dkk, 2006)
Saat ini mulai terlihat kecenderungan adanya perubahan pola permintaan pelayanan kesehatan pada golongan masyarakat tertentu dari pelayanan kesehatan tradisional di rumah sakit beralih ke pelayanan keperawatan di rumah disebabkan karena terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatanyang cukup besar dibanding sebelumnya (Depkes RI, 2004a, 2004b; Sharkey, 2000; MacAdam, 2000). Sedangkan secara filosofis, saat ini telah terjadi perubahan “paradigma sakit”yang menitikberatkan pada upaya kuratif ke arah “paradigma sehat” yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Sehingga situasi tersebut dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan praktik keperawatan komunitas. (Bondan Palestina, 2007)
B. RUMUSAN MASALAH
Hingga saat ini masalah gizi buruk di Indonesia masih cenderung tinggi. Berbagai program kebijakan kesehatan yang dibuat oleh pemerintah seperti salah satunya pemberdayaan desa siaga, terbukti belum optimal dalam menyelesaikan persoalan gizi buruk ini. Perawat sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan yang memiliki proporsi paling besar dibanding jumlah tenaga kesehatan yang lain, dengan disertai peran dan fungsinya yang luas termasuk di bidang komunitas, memiliki kompetensi untuk turut serta memecahkan masalah gizi buruk tersebut. Melalui pendekatan keluarga binaan, perawat komunitas atau perawat kesehatan masyarakat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan, pendidik, kolaborator, fasilitator, penemu kasus, pengelolaan pelayanan, serta advokat.
Dengan melalui pendekatan keluarga,binaan perawat komunitas dapat mengimplementasikan perannya kepada masyarakat, terutama pada masalah gizi buruk yang saat ini masih banyak terjadi. Namun pada kenyataannya banyak program pemerintah yang telah disusun pada perawatan kesehatan masyarakat belum sepenuhnya teraplikasi sesuai dengan konsep ideal perawat komunitas atau perawat kesehatan masyarakat.


BAB II
PEMBAHASAN
Keperawatan sebagi salah satu tenaga kesehatan yang memiliki proporsi terbesar di banding tenaga kesehatan lain, merupakan peluang bagi perawat khususnya perawat komunitas untuk mengoptimalkan fungsinya dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Banyaknya masalah yang muncul di masyarakat, menuntut perawat dengan kompetensi yang dimiliki untuk berperan serta berdasarkan peran, tugas dan tanggung jawab yang dimiliki. Ruang lingkup praktek kesehatan masyarakat meliputi:
 upaya-upaya, peningkatan kesehatan (promotif),
 pencegahan (preventif),
 pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (curative),
 pemulihan kesehatan (rehabilitative), dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat.
Perawatan Kesehatan Masyarakat mempunyai tujuan membantu masyarakat dalam upaya meningkatkan kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit melalui:
1. Pemberian asuhan keperawatan secara langsung kepada individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat, dengan strategi intervensi yaitu proses kelompok, pendidikan kesehatan serta kerjasama (partnership).
2. Memperhatikan secara langsung
A. Gizi Buruk dan Permasalahannya
Salah satu masalah kesehatan di masyarakat yang masih menunjukkan angka kejadian yang tinggi adalah masalah gizi buruk. Gizi buruk adalah keadaan gizi berdasarkan hasil penimbangan berat badan pada Kartu Menuju Sehat (KMS) berada di bawah garis merah atau berat badan (BB)/umur-3 SD standar WHO-NCHS.
Sehingga dapat diartikan bahwa, seorang anak dikatakan menderita gizi buruk jika berat badan (BB)/umur -3 SD. Sementara gizi buruk pada anak dibedakan menjadi 3, yaitu marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Meskipun demikian, ketiganya sama-sama menjadi masalah yang penting untuk segera mendapatkan penanganan. Karena jika gizi buruk tidak teratasi maka selain mengancam kondisi anak itu sendiri, juga berpengaruh terhadap masa depan negara.
Masalah gizi buruk dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling utama adalah kemiskinan, kemudian pendidikan, diikuti pengetahuan juga budaya kebiasaan.
a. Kemiskinan dan gizi buruk
Dari banyaknya data yang diperoleh pada dasar teori mengenai pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk, mengindikasikan bahwa penduduk miskin mempunyai potensi yang besar untuk mengalami gizi buruk akibat daya beli terhadap makanan bernilai gizi cukup atau tinggi masih rendah. Kemiskinan juga menyebabkan masyarakat kurang mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang adekuat dikarenakan mahalnya biaya kesehatan.
Masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan umumnya memiliki penghasilan yang sangat terbatas, sehingga untuk pemenuhan asupan gizi sangat kurang. Keterbatasan pemberian makanan cukup gizi juga sebagai dampak keterbatasan daya beli masyarakaat. Hal ini sangat berpengaruh pada tingginya angka gizi buruk dimasyarakat. Ketidakstabilan ekonomi yang diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup semakin membuat masyarakat miskin kesulitan mendapatkan apa yang diinginkan, baik kebutuhan fisiologis seperti sembilan bahan pokok, hingga kebutuhan untuk mempertahankan kesehatan.
b. Pengetahuan dan Gizi Buruk
Pengetahuan akan pentingnya kesehatan juga sangat kurang. Mereka sudah menganggap cukup jika menu makan hanya nasi dan kerupuk atau nasi dengan kecap. Jika pola makan seperti ini diberikan terus menerus maka gizi yang diberikan sangat kurang, akibatnya pertahanan tubuh terhadap penyakit sangat rendah, sehingga akan mudah sekali terserang penyakit yang akan mempercepat penurunan berat badan dibawah batas normal.
Kurangnya informasi dan kekurangsadaran akan pentingnya informasi pada masyarakat, juga turut berperan. Kesibukan kerja menyebabkan orang tua kurang cukup waktu untuk mencari informasi.
c. Tingkat Pendidikan dan Gizi Buruk

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranannya dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Redja Mudyaharjo, 2001).
Tingkat pendidikan yang rendah biasanya akan berbanding lurus terhadap tingginya angka gizi buruk di masyarakat, hal ini dikarenakan biasanya dengan tingkat pendidikan yang rendah maka pengetahuan seseorang pun akan rendah, tapi hal ini tidaklah mutlak.
d. Kebiasaan hidup, kebudayaan dan Gizi Buruk
Kebiasaan, mitos, adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan, akan sangat merugikan anak. Misal kebiasaan memberi minm bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat teralu dini, berpantangan pada makanan tertentu (misal tidak memberi makan daging, telur, santan dan lain-lain), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapatkan asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.
Dalam pemberian asupan makanan, kebiasaan yang kurang sehat juga akan mempengaruhi tingginya angka gizi buruk di masyarakat, hal ini dikarenakan kebiasaan yang tidak sehat menyebabkan sangat rentannya kondisi tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang mengakibatkan turunnya berat badan seseorang secara drastis. Budaya-budaya tertentu seperti patriarkhi yang lebih mengutamakan anak laki-laki dalam pemenuhan kebutuhan gizi juga turut berperan sebagai penyebab gizi nuruk pada anak.
B. Identifikasi Penerapan Program Keluarga Binaan dalam Mengatasi Masalah Gizi Buruk pada Anak
Keperawatan berada dalam satu arus paradigma sehat Visi Indonesia Sehat tahun 2010, yang menempatkan aspek promosi dan preventif pada garda terdepan kebijakan dan program pembangunan bidang kesehatan. Pada pelayanan tindak lanjut berbagai penyakit kronis dan resiko tinggi membutuhkan perawatan yang berkesinambungan, oleh karena keterbatasan puskesmas dalam melaksanakan perawatan kesehatan secara tuntas memerlukan keterlibatan keluarga. Disamping itu pelayanan perawatan kesehatan masyarakat juga memiliki peranan sangat penting dalam meningkatkan dukungan psikologis dengan memberikan suport pada keluarga untuk mencegah komplikasi, sehingga keberadaan public health nursing dirasakan sangat penting. (Basirun, 2004) 2.
1. Peluang Perawat dalam Penerapan Keluarga Binaan
Dari analisa faktor penyebab terjadinya gizi buruk diatas, banyak peluang yang dapat menjadi dasar mengapa diperlukannya penerapan keluarga binaan pada keluarga dengan anak yang mengalami gizi buruk. Peluang tersebut adalah :
a. Kekurangpahaman masyarakat akan kesehatan
Anggota keluarga yang miskin cenderung lebih mengutamakan pekerjaanya, dari pada mendatangi tempat pelayanan kesehatan, apalagi jika penyakit anak tidak begitu parah. Peran perawat pada keluarga binaan adalah sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi keluarga secara intensif dengan mendatangi langsung ke rumah keluarga.
b. Jangkauan tempat layanan
Tempat layanan kesehatan yang jauh dari rumah, menyebabkan masyarakat enggan untuk mendatangi, selain alasan biaya untuk naik kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi, pertimbangan waktu untuk bekerja yang terbuang menjadi alasan tersendiri. Dengan model keluarga binaan, keluarga tetap dapat merasakan pelayanan kesehatan meskipun di rumah masing-masing.
c. Informasi
Mereka yang berpendidikan rendah, tidak jarang juga masyarakat miskin yang buta aksara, merupakan keterbatasan yang dapat menyebabkan kurangnya informasi yang mereka dapat. Bisa karena kurang sumber informasi, ketidakingintahuan atau kekurangfahaman untuk mendapat informasi.
Informasi kesehatan terbaru jarang yang sampai ke pelosok-pelosok desa, kalaupun sampai, karena keterbatasan tingkat pendidikan yang diikuti keterbatasan kognitif akibatnya informasi yang diterimapun tidak semuanya dapat terserap dan dipahami dengan baik apalagi untuk diaplikasikan. Sehingga perlu adanya pendampingan dan pembinaan intensif kepada keluarga.
Pada konteks ini, keperawatan komunitas merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan. Sifat asuhan yang diberikan adalah umum dan menyeluruh dan diberikan secara terus menerus, melalui kerjasama dengan salah satu fokus pemberian asuhan yaitu kepada keluarga.
Mengingat peran perawat komunitas juga ditujukan kepada keluarga, maka dengan melihat fenomena yang tampak di atas, perlu dilakukan sebuah pendekatan yang langsung menyentuh kepada subjek utama, yaitu keluarga. Konkritnya adalah dengan upaya pendampingan pada keluarga binaan.
Beberapa alasan yang menyebabkan keluarga merupakan salah satu fokus pelayanan keperawatan. Pertama, keluarga adalah unit utama dalam masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat. Kedua, keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, memperbaiki atau mengabaikan masalah kesehatan dalam kelompoknya sendiri. Hampir setiap masalah kesehatan mulai dari awal sampai pada penyelesaiannya akan dipengaruhi keluarga. Keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarga. Ketiga, masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Penyakit pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga tersebut. Peran dari anggota-anggota keluarga akan mengalami perubahan, bila salah satu angota menderita sakit. Disisi lain status kesehatan dari klien juga sebagian akan ditentukan oleh kondisi keluarganya.

2. Peran Perawat pada Program keluarga Binaan
Banyak sekali peran perawat yang dapat diterapkan dalam menghadapi masalah kesehatan komunitas. Mengenai masalah gizi buruk, peranan perawat komunitas dapat diwujudkan melalui penerapan program keluarga binaan. Meskipun banyak sekali peranan yang dapat dilakukan, ada 4 peranan utama yang dapat difokuskan pada program keluarga binaan, yaitu :
a. Sebagai pemberi layanan keperawatan
Peranan utama dari perawat kesehatan masyarakat adalah sebagai pelaksana asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit atau yang mempunyai masalah kesehatan / keperawatan apakah itu di rumah, di sekolah, puskesmas, panti, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhannya. (Effendy, 1998).
Pada program keluarga binaan, perawat dapat dengan intensif mendatangi rumah keluarga rsiko tinggi gizi buruk pada anak, dengan sebelumnya telah dilakukan penjaringan terhadap keluarga yang benar-benar resiko tinggi mengalami gizi buruk dan selanjutnya dilakukan pendampingan secara intensif terutama bagi keluarga resiko tinggi. Perawat juga dapat mengatasi masalah kesehatan seperti : hipoglikemi, dehidrasi, koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, pemberian makan, pengamatan tumbuh kembang.


b. Sebagai Case Manager
Sebagai penemu kasus sekaligus pengelolanya, perawata dapat melakukan survei epidemiologi maupun penelitian mengenai kejadian yang berkaitan dengan gizi buruk yang ada dimasyarakat. Dari sini diharapkan perawat dapat menemukan solusi-solusi konkrit untuk dapat diterapkan dalam mengatasi masalah yang ada termasuk masalh gizi buruk.
Monitoring dapat dilakukan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga. Dengan keluarga binaan dapat lebih mudah untuk menemukan permasalahan karena perawat menjadi lebih dekat dengan sumber kasus, dengan interaksi bersam masyarakat akan lebih mudah mendapatkan solusi dengan melibatkan peran serta masyarakat sekaligus berupaya memandirikan masyarakat.
c. Sebagai pendidik
Perawat sebagi health educator berperan memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik di rumah, puskesmas maupun masyarakat secara terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat, sehingga terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan dalam mencapai tingkat kesehatan yang optimal. (Effendy, 1998)
Promosi Kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan serta pengembangan lingkungan sehat. Promosi Kesehatan “menggarap” aspek perilaku, yaitu untuk memotivasi, mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Dalam Promosi Kesehatan, individu dan masyarakat bukan menjadi objek (sasaran) melainkan sebagai subjek (pelaku).
d. Sebagai advokat

Walaupun istilah advokasi mempunyai banyak definisi, dua definisi di bawah ini mengandung konsep-konsep utama advokasi hak asasi manusia (hak masyarakat) yang esensial. Pengertian pertama, advokasi sebagai segala aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran publik di antara para pengambil-keputusan dan khalayak umum atas sebuah masalah atau kelompok masalah, dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi (Black, 2002, hal.11). Pengertian kedua, advokasi keadilan sosial, yaitu upaya pencapaian hasil-hasil yang berpengaruh – meliputi kebijakan-publik dan keputusan-keputusan alokasi sumber daya dalam sistem dan institusi politik, ekonomi, dan sosial – yang mempengaruhi kehidupan banyak orang secara langsung (Cohen et al., 2001, hal. 8).
Dalam proses advokasi, profesional kesehatan melibatkan klien dalam menetapkan hubungan jiwa dan raga yang dapat menyelaraskan subyektifitas ekstrem dengan obyektifitas. Advokasi bertujuan meningkatkan dan mengekspresikan otonomi klien melalui penciptaan wacana kesehatan relasional klien-profesional. (Effendy, 1998)
Pendekatan advokasi memberikan keleluasaan kepada praktisi untuk terikat dengan suatu komunitas sebagai mitra tertentu, bukan sebagai kelompok abstrak dan bertindak atas dasar kepercayaan bahwa seseorang benar-benar ahli dalam bidang keperawatan komunitas itu sendiri. (Effendy, 1998)
Yang dapat dilakukan oleh perawat dalam pengelolaan keluarga binaan adalah dengan upaya pendampingan klien. Memutuskan bersama keluarga tentang hal apa yang akan diambil sebagai langkah. Perawat juga dapat mengawal klien untuk mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan paripurna.
Untuk fokus dan prioritas sasaran pada keluarga binaan adalah disesuaikan dengan fokus sasaran Perkesmas yang meliputi :
a. Fokus : keluarga rawan kesehatan
b. Prioritas : keluarga rentan terhadap masalah kesehatan (gakin) dan keluarga resiko tinggi (anggota keluarga bumil, balita, lansia, menderita penyakit). (Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina YanMed Depkes RI, 2003
3. Aplikasi Peran Perawat pada Program Keluarga Binaan
Berdasarkan hasil analisis mengenai peran utama perawat komunitas dalam menanggulangi masalah gizi buruk, langkah-langkah dalam pengelolaan anak dengan gizi buruk dengan system keluarga binaan sebagai berikut :
a. Pre Pembinaan Penjaringan
1. Mendata keluarga yang melahirkan hidup terutama pada keluarga miskin, dengan melakukan survey epidemiologi
2. Mendatangi rumah keluarga tersebut
3. Wawancara
4. Pengukuran antropometri dan menilai status gizi anak dengan indeks BB/U standart WHO-NCHS
Menghitung kebutuhan zat gizi berdasarkan BB
Mengkaji tanda-tanda klinis dengan fokus marasmus / kwashiorkor / marasmus-kwashiorkor
b. Pembinaan
1. Menberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga yang terpilih tentang pentingnya gizi dan pola asuh
2. Memantau secara berkala, dengan memanfaatkan buku kesehatan ibu dan anak
3. Penerapan prinsip-prinsip asuhan keperawatan pada anak dengan masalah gizi buruk :
Pemberian makanan yang mengandung protein, tinggi kalori, cairan, vitamin dan mineral ?perlu dipertimbangkan pula pemberian makanan alternatif yang sarat gizi tetapi tetap sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga
Penanganan segera penyakit penyerta, missal diare
Sebaiknya tidak memberikan makanan kecil seperti permen, cokelat dan susu menjelang wktu makan
Pada permulaan makanan jangan diberikan sekaligus banyak, tetapi dinaikkan bertahap setiap hari (makan dalam porsi kecil tetapi sering)
Anjurkan keluarga untuk memberikan makanan yang beraneka ragam untuk meningkatkan selera makan
Anjurkan keluarga membawa anak ke Posyandu ataufasilitas kesehatan secara tratur untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak (Astuti Yuni Nursasi, 2006)
4. Memberikan motivasi kepada keluarga (orang tua) agar segera merujuk anaknya ke pusat layanan kesehatan tanpa menunggu munculnya masalah kesehatan pada anak
5. Menganjurkan keluarga terutama ibu untuk memberi ASI kepada anak sampai usia 2 tahun
6. Menganjurkan pemberian MP-ASI sesuai usia anak
7. Menganjurkan makan makanan seimbang sesuai umur dan tingkat perkembangan dan aktivitas
8. Mengatasi masalah kesehatan, missal : hipoglikemi ringan, dehidrasi, koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian makan bergizi, pemantauan tumbuh kembang
9. Melakukan pendokumentasian
c. Tidak lanjut
1. Pelaporan kejadian gizi buruk
2. Pemulihan : monitoring lanjut ?kunjungan berkala, memotivasi keluarga (orang tua) agar segera merujuk anaknya ke pusat layanan kesehatan jika mengalami masalah kesehatan tanpa menunggu semakin parah
C. Faktor penghambat kurangnya peran perawat komunitas pada program keluarga binaan dalam mengatasi masalah gizi buruk
1. Sumber Daya Manusia
a. Perawat
Berdasarkan hasil penelitian oleh Pusgunakes tahun 2003, didapat data Jumlah tenaga Keperawatan di Indonesia dari berbagai tingkat pendidikan adalah: latar belakang pendidikan SPK : 35,673 orang. Atau 88,59 % dan latarbelakang pendidikan D3 sebanyak 4,595 orang atau 0,11 % sehingga total keseluruhan adalah 40,268 orang sedangkan yang berlatarbelakang pendidikan S1 belum terdata oleh Depkes, yang ditempatkan diseluruh Indonesia baik di palayanan, pendidikan dan lain-lain.
Dari data di atas dapat dilihat sumber daya manusia yang ada pada profesi keperawatan. Berdasarkan kualitas diketahui bahwa jumlah terbesar adalah dari perawat berlatarbelakang SPK, kedua adalah D3 dan perawat dengan latar belakang S1 adalah jumlah yang paling sedikit. Sebagaimana kita ketahui bahwa perawat professional dilaksanakan oleh perawat S1 sedangkan vakasional dilaksanakan oleh D3. Sementara perawat SPK saat ini sudah mulai diupayakan untuk di geser menjadi perawat D3 dan S1. Jumlah perawat yang tingkat pendidikannya masih rendah inilah yang menjadi salah satu penghambat dalam peran perawat komunitas pada program keluarga binaan dalam mengatasi masalah gizi buruk.
Dalam tinjauan pustaka telah kita lihat peran perawat dalam komunitas diantaranya sebagai pendidik kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, penemu kasus, coordinator/penghubung konselor, model pemodifikasi lingkungan, konsultan, pembaharu (change agent), manajer kasus, advokat dan peneliti.
b. Masyarakat
Faktor penghambat yang lain yaitu dari masyarakat sendiri. Karena dalam rumusan bahwa komunitas dipandang sebagai target pelayanan kesehatan sehingga diperlukan suatu kerjasama yang melibatkan secara aktif masyarakat untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dimana individu, keluarga maupun masyarakat sebagai pelaku kegiatan upaya peningkatan kesehatan serta bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri berdasarkan azas kebersamaan dan kemandirian.
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka sumber daya manusia juga rendah. Oleh sebab itu kerjasama yang melibatkan secara aktif masyarakat untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal masih sulit dilakukan/ dijalankan.
Masih jarang masyarakat yang mau turut berperan untuk menanggulangi masalah gizi buruk apalagi dalam upaya pelaksanaan keluarga binaan, untuk itu perlu adaya upaya untuk menggandeng masyarakat, baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, perusahaan swasta dan sebgainya.
2. Finansial
Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi dalam proses pembangunan di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, adalah tidak tersedianya dana yang cukup. Saat ini Negara Indonesia masih mengalami krisis, pemerintah masih mengalami defisit pendapatan Negara, sehingga hal ini berdampak pada kurangnya dana yang diberikan untuk bidang kesehatan. Keterbatasan dana tersebut menyebabkan pemerintah tidak maksimal dalam memberikan penghargaan financial kepada para perawat, khususnya perawat komunitas. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, penghargaan yang diperoleh oleh perawat dalam hal ini perawat komunitas yang menangani keluarga-keluarga binaan di daerah sangat kurang sekali mendapatkan perhatian, dalam hal ini penghargaan finansial sangat kurang diperhatikan oleh pemerintah. Akibatnya, perawatpun menjadi berfikir ulang untuk melaksanakan fungsinya dalam pelaksanaan keluarga binaan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Masalah gizi buruk dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling utama adalah kemiskinan, pendidikan, pengetahuan dan budaya kebiasaan. Factor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan sulit sekali diputus, sehingga dapat dikatakan ibarat lingkaran setan..
2. Perawat dengan perannya yang luas termasuk lahan komunitas, memiliki sebuah peran penting. Salah satunya dengan penerapan program keluarga binaan sebagai wujud aktualisasi peran perawat komunitas terhadap keluarga. Banyak sekali peran perawat yang dapat diterapkan dalam menghadapi masalah kesehatan komunitas, namun pada penanggulangan gizi buruk ini peran yang paling utama adalah sebagai pemberi layanan keperawatan, case manager, sebagai pendidik dan sebagai advokat..
3. Baik pemerintah pusat maupun daerah, telah banyak mengeluarkan program untuk kesehatan masyarakat, termasuk penaggulangan gizi buruk. Namun hingga kini angka kejadian gizi buruk masih tergolong tinggi. Salah satu penyebabnya dapat dilihat dari peran perawat komunitas yang belum maksimal, sebagai contoh adalah peran kunjungan rumah sebagai wujud pengelolaan keluarga binaan masih sangat minimal atau bahkan tidak terlaksana..
4. Keluarga binaan sudah lama dicanangkan pemerintah untuk diterapkan di komunitas, tetapi pelaksanaannya msih belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh faktor :
a. SDM perawat dan masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas
b. Finansial, terkait dengan kebijakan pemerintah
B. SARAN
1. Bagi perawat komunitas
Perawat komunitas perlu memahami tugas secara mendalam dalam penanggulangan gizi buruk pada masyarakat, paradigma pelaksanaan peran sebagi perawat hendaknya tidak hanya berdasar pada profit oriented, tetapi juga perlunya pemahaman akan pentingnya kepedulian sosial.
2. Bagi masyarakat
Masyarakat sangat dibutuhkan kerjasamanya dalam mengurangi jumlah anak yang mengalami gizi buruk. Oleh sebab itu antusiasme masyarakat dalam penanggulangan gizi buruk sangat dibutuhkan.

3. Bagi organisasi profesi
a. Perlu menilik kembali aktualisasi peran perawat komunitas terutama pada perannya dalam keluarga binaan yang memungkinkan perawat langsung bertemu langsung dengan masalah kesehatan. Jika peran perawat komunitas pada keluarga binaan sudah optimal dengan disertai fungsi kemitraan, maka diharapkan dapat mengurangi kejadian gizi buruk di masyarakat.
b. Pengupayaan pengesahan Undang-Undang Praktek Keperawatan hendaknya segera dipercepat, agar pasien lebih terlindung dari upaya mal praktik dan perawat lebih terlindungi dari jeratan hukum karena ketidakjelasan batasan wewenang praktek keperawatan.
c. Perapian jenjang pendidikan keperawatan perlu diaplikasikan dengan tegas, agar perawat sebagai profesi lebih diakui oleh masyarakat dan sebagai bekal mengahadapi era AFTA yang memungkinkan perawat dengan kompetensi lebih tinggi dari luar negeri dapat dengan bebas memasuki suatu Negara.
4. Bagi pembuat kebijakan kesehatan
Pemerintah perlu membentuk komite penanggulangan gizi buruk yang direkomendasikan untuk dibentuk mulai dari level desa, kabupaten, propinsi dan pusat dengan anggota-anggotanya mencakup berbagai pihak dalam masyarakat yang sudah atau potensial terlibat dalam kerja penaggulangan gizi buruk, seperti : pemerintah, komunitas agama dan pemerintah yang mendukung. Melalui komite ini seluruh sumber daya yang ada bisa dipersatukan secara lebih efektif, efisien, berdampak luas dan berkelanjutan. Dalam komite ini pula dapat dirumuskan sistem penanggulangan gizi buruk yang berorientasi tidak hanya kuratif jangka pendek tetapi juga preventif jangka panjang. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah sistem evalusi yang terlaksana secara efektif dan kontinyu, diikuti anggaran kesehatan yang lebih realistis dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.



















DAFTAR PUSTAKA



1.http://worldnursing-petrus.blogspot.com
2.Mubarak Igbal Wahit,Skm dkk.2006.Buku Ajar Keperawatan Komunitas 2.
Jakarta : Sagung seto











































MAKALAH

TENTANG
ISSUE DAN KECENDRUNGAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
DALAM KELUARGA